Bangsa Indonesia mengakui atas keluhuran budaya bangsanya adalah satu hal yang tidak dapat diragukan. Namun pantas disayangkan, perhatian dan penghormatan terhadap budaya bangsa masih berada pada level yang meragukan. Terhadap budayanya, bangsa ini terkesan pokoknya masih ada yang mengurusi. Dalam kondisi seperti ini perlahan dan pasti suatu saat nanti bangsa ini pasti lupa akan budayanya sendiri. Situasi ini menunjukan betapa krisis budaya telah melanda negeri ini.
Bahkan oleh Abdul Hadi WM (2009) mencatatat , bahwa krisis kebudayaan telah lama melanda kehidupan bangsa kita. Tanda-tandanya tampak terutama dalam merosotnya nilai dan pemujaan berlebihan di kalangan luas masyarakat terhadap hal-hal yang bersifat fisik dan material. Oleh karena itu, seperti krisis-krisis lainnya, sepatutnya ia dijadikan pekerjaan rumah oleh kita untuk dibahas dan dipecahkan bersama-sama. Memang, persoalan yang berkaitan dengan kebudayaan tampak kurang menarik dan aktual dibanding persoalan yang menyangkut kehidupan ekonomi atau politik. Tetapi harus diakui pula krisis yang terjadi dalam bidang-bidang tersebut sangat terkait dengan krisis yang berlaku di lapangan kebudayaan, maka membicarakan krisis kebudayaan menjadi tidak kurang penting dan mendesak.
Rendahnya perhatian dan pengormatan itu, sangatlah kasat mata. Sebab pusat kebudayaan, lembaga kebudayaan yang ada di Indonesia ini keberadaanya dapat dihitung dengan jari tangan. Minimnya pusat budaya dan lembaga budaya di baik diperkotaan maupun dan di pedesan di negara ini yang menguri-uri budaya bangsanya, menunjukan minimnya pula kepedulian atas masa depan budaya. Yang semestinya budaya senantiasa dilestarikan dan diberdayakan.
Padahal dalam Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 32 ayat (1) dinyatakan, “Negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasa masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai–nilai budayanya”. Sudah sangat jelas konstitusi menugaskan kepada penyelenggara negara untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Ini berarti negara berkewajiban memberi ruang, waktu, sarana, dan institusi untuk memajukan budaya nasional dari mana pun budaya itu berasal.
Amanah konstitusi itu, tidak direspon secara penuh oleh negara. Bahkan hampir 65 tahun merdeka ini masalah budaya kepengurusannya “dititipkan” kepada institusi yang lain. Pada masa yang lampau pengembangan budaya dititipkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kini Budaya berada dalam satu atap dengan Pariwisata, yakni Departemen Pariwisata dan Budaya. Dari titik ini saja telah ada kejelasan, bagaimana penyelenggara negara menyikapi budaya nasional itu. Budaya nasional dipandang sebagai bagian dari sektor lain yang dapat disambi.
Menjelang meletusnya Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu) pada tahun 1965, budaya dijadikan sebagai alat propaganda politik,sampai pada titik yang disebut perang politik melalui budaya, yang oleh D.S Moeljatno dan Taufiq Ismail diabadikan dalam karyanya ”Prahara Budaya” tahun 1995. Prahara Budaya yang disusun oleh mereka memaparkan ulang, prahara budaya yang terjadi menjelang Gestapu. Pada waktu itu budaya dijadikan propaganda politik, bahkan perang ideologi politik melalui karya budaya.
Peristiwa kedua yang cukup menyita perhatian bangsa dan dunia adalah klaim oleh negara Malaysia terhadap produk budaya bangsa Indonesia yang diklaim sebagai budaya negara Jiran tersebut, antara lain lagu Rasa sayange, Batik, Reog Ponorogo, bahkan sampai pada lagu lagu milik Rapper SayKoji dan lagu pop melayu kepunyaan Group Band Wali.
Negara atau pemerintah Indonesia semestinya berkomitmen untuk mengembangkan kebudayaan nasional dan melindungi kebudayaan nasional, agar budaya Indonesia yang dikenal sebagai budaya adi luhung, tidak tenggelam dalam arus materialistis dan semangat hedonisme yang kini sedang melanda dunia secara global. Sudah saatnya negara mempunyai strategi dan politik kebudayaan yang berorientasi pada penguatan dan pengukuhan budaya nasional sebagai budaya bangsa Indonesia.
Sebagai bangsa yang merasa besar sebagai bangsa Indonesia, kita harus meyakini bahwa para leluhur telah meninggalkan kepada bangsa ini keanekaragaman budaya yang bernilai tinggi. Warisan adi luhung itu tidak cukup bila hanya berhenti pada tontonan dan hanya dianggap sebagai warisan yang teronggok dalam musium, dan buku buku sejarah saja. Bangsa ini mestinya mempunyai kemampuan memberikan nilai nilai budaya sebagai aset bangsa yang mesti terjaga kelestarian agar harkat martabat sebagai bangsa yang berbudaya luhung tetap dapat dipertahankan sepanjang masa.
Dalam situasi global, lintas budaya antar negara dengan mudah terjadi, budaya bangsa Indonesia dengan mudah dinikmati, dipelajari, dipertunjukan, ditemukan di negara lain. Dengan demikian, seperti yang dikatakan Edi Wirawan (2008), dalam konteks pengembangan kebudayaan nasional, maka proses lintas budaya dan silang budaya yang terjadi harus dijaga agar tidak melarutkan nilai nilai luhur bangsa Indonesia.
Sementara itu dalam situasi budaya bangsa yang cukup memprihatinkan ini, muncul forum kebudayaan Indonesia yang berikhtiar untuk tetap memelihara dan menjaga budaya nasional. Semangat dan keprihatinan akan budaya bangsa ini juga menjadi latar belakang pendirian Forum Kebudayaan Indonesia, yakni kelembagaan bersama yang diharapkan mampu menjadi forum revitalisasi budaya bangsa dengan visi 2008-2028. Dengan visi menjadi bangsa Indonesia yang berkarakter (mempunyai jati diri), bermartabat dan terhormat, maka diharapkan dapat dijalankan beberapa misi umum; (1) memelihara warisan budaya bangsa (national heritage), (2) menanamkan nilai-nilai budaya lokal/nasional yang positif dan konstruktif, (3) menyaring budaya asing yang masuk melalui aktualisasi budaya, (4) memfasilitasi kegiatan budaya yang belum dengan membiayai kegiatannya sendiri (self-finance), dan (5) menggalang semua potensi budaya yang ada melalui “Manajemen Budaya” Tata Kelola Kebudayaan yang Baik dan Benar (Good Cultural Management/ Good Cultural Governance).
Demikian halnya salah satu butir rekomendasi Work Shop Pemberdayaan Masyarakat Adat, 28-1 Maret 2004, yang diselenggarakan atas kerjasama Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPPMA) Pontianak, dan Dewan Adat Kecamatan Ngabang. Hasilnya, pluralisme dan penghormatan terhadap keberagaman kehidupan keagamaan serta adat istiadat sudah menjadi tradisi masyarakat adat. Oleh karena itu, pola perilaku penghormatan terhadap kemajemukan sosial budaya ini perlu dipertahankan dalam kehidupan masyarakat adat pada masa akan datang karena kehidupan sosial masyarakat akan mengarah pada pluralitas sosial budaya.
Dalam era globalisasi ini diperlukan langkah penguatan institusi sosial budaya lokal untuk memfilter pengaruh globalisasi yang merasuk ke dalam kehidupan masyarakat adat sehari-hari.
Pencerdasan Bangsa untuk Penguatan Budaya
Bangsa ini harus mengakui, selama ini pendidikan formal hanya memberi ruang yang sangat sempit terhadap budaya, baik budaya lokal maupun nasional. Budaya sebagai materi pendidikan baru taraf kognitif, peserta didik diajari nama-nama budaya nasional, lokal, bentuk tarian, nyanyian daerah, berbagai adat di berbagai daerah, tanpa memahami makna budaya itu secara utuh. Sudah saatnya, peserta didik, dan masyarakat pada umumnya diberi ruang dan waktu serta sarana untuk berpartisipasi dalam pelestarian, dan pengembangan budaya di daerahnya. Sehingga nilai nilai budaya tidak hanya dipahami sebagai tontonan dalam berbagai festival budaya, acara seremonial, maupun tontonan dalam media elektronik.
Masyarakat, sesungguhnya pemilik budaya itu. Masyarakatlah yang lebih memahami bagaimana mempertahankan dan melestarikan budayanya. Sehingga budaya akan menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya pemeliharaan budaya oleh masyarakat, maka klaim-klaim oleh negara lain dengan mudah akan terpatahkan. Filter terhadap budaya asing pun juga dengan aman bisa dilakukan. Pada gilirannya krisis budaya pun akan terhindarkan. Sudah saatnya, pemerintah pusat dan daerah secara terbuka memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam upaya penguatan budaya nasional.
Sabtu, 02 Juli 2011
PENGUATAN BUDAYA NASIONAL DALAM SITUASI KRISIS BUDAYA
04.30
kuncup biologi
No comments
0 komentar:
Posting Komentar